Investasi kripto kini semakin populer di masyarakat. Hingga Maret 2022, jumlah transaksi aset kripto telah mencapai Rp83,8 Triliun dengan investor sebanyak 12,4 Juta. Dengan jumlah transaksi yang semakin besar, pemerintah pun telah menyusun kebijakan mengenai pajak penghasilan (PPh) atas transaksi kripto.
Melalui acara Media Briefing yang disiarkan akun Youtube Direktorat Jenderal Pajak, Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menyampaikan bahwa kripto akan dikenakan pajak yang bersifat final. “Secara umum, modelnya nanti sama dengan transaksi saham di bursa. Ada pemotong/pemungut yang memotong, kemudian dengan tarif tertentu, yang kemudian sifatnya katakanlah final,” jelas Yon Arsal.
Menurut Yon Arsal, pajak atas kripto bukan pajak baru, namun model pemotongan/pemungutannyalah yang baru. Dirinya menyebut pengenaan pajak final atas kripto dipilih agar dapat memberikan kemudahan dan kesederhanaan. “Kita coba sesederhana mungkin sehingga memudahkan dan nantinya memberi kepastian hukum bagi pemotong/pemungut atau bagi pihak-pihak yang memperoleh penghasilan dari transaksi ini,” tegas Yon Arsal.
Pada prinsipnya, penghasilan dari transaksi kripto merupakan objek. Meskipun tidak diatur secara khusus, pengaturan dapat merujuk pada ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menyebutkan bahwa:
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun”
Namun, karena transaksi kripto memiliki karakteristik yang berbeda, pemerintah menyiapkan aturan khusus sebagai bentuk kepastian hukum.